Jumat, 04 April 2014

Sunnah Hasanah, Bukan Bid'ah Hasanah

26 Mei 2009 pukul 7:49
HR. Muslim no. 1017 (secara lengkapnya):

Dari Abu 'Amr Jarir bin 'Abdullah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, pada suatu siang kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ada sekelompok kaum yang mendatangi beliau dalam keadaan telanjang dan hanya memakai kain bergaris-garis yang terbuat dari bulu dengan menggantungkan pedang di leher-leher mereka. Kebanyakan atau bahkan mereka semua berasal dari Mudhar. Ketika melihat kemiskinan yang mereka alami, wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berubah. Kemudian beliau masuk rumah dan setelah itu keluar lagi. Selanjutnya, beliau menyuruh Bilal mengumandangkan adzan. Maka Bilal pun mengumandangkan adzan dan iqamah. Lalu beliau mengerjakan shalat kemudian berkhutbah.


Beliau membacakan:





"Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu sekalian yang menciptakan kamu sekalian dari seorang diri," sampai akhir ayat, "Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu sekalian." (An-Nisaa': 1). Dan ayat lain yang terdapat pada akhir surat al-Hasyr, "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (Kemudian) Ada seseorang yang menshadaqahkan sebagian dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, satu sha' gandum, dan satu sha' kurma. Hingga akhirnya beliau berkata: "Meski hanya dengan separuh biji kurma." Lalu datanglah seorang Anshar dengan membawa satu pundi yang telapak tangannya hampir tidak mampu mengangkatnya, bahkan tidak mampu lagi. Lalu orang-orang pun mengikutinya, sampai aku melihat wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berbinar seolah-olah bersinar. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (sebagaimana dalam gambar di atas):



مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

"Barang siapa membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."


Keterangan: Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/357-362), Muslim (no.1017), an-Nasa-i (V/76-77), ad-Darimi (I/130-131), Ibnu Majah (no. 203), Ibnu Hibban (no. 3308), at-Ta'liiqatul Hisaan 'ala Shahih Ibni Hibban (no. 3297), ath-Thahawi dalam al-Musykiil (no. 243), ath-Thayalisi (no. 705), dan al-Baihaqi (IV/175-176).


Syarah Hadits:


1. Bagi orang-orang yang dikaruniai kemudahan hidup hendaknya selalu memantau orang-orang yang kesulitan untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan, dan hendaklah mereka menghindarkan bahaya dari diri orang-orang tersebut. Yang demikian itu merupakan salah satu bentuk persahabatan dan tolong-menolong di antara kaum muslimin untuk berbuat kebajikan dan ketakwaan.


2. Rasa kasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan, serta kesungguhan beliau untuk mencegah bahaya yang mengancam mereka. Hal yang sama selayaknya dilakukan oleh para pemimpin (imam-imam) seteah beliau.


3. Kebahagiaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atas kebahagiaan yang dirasakan orang-orang miskin, serta usaha beliau untuk memberi manfaat dan pertolongan kepada mereka. Hal itu dapat meringankan kesedihan umat dan menyingkap kesusahan mereka.


4. Bimbingan dan arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang baik dalam mengikat tali persaudaraan dan kecintaan di antara kaum muslimin, serta perhatian akan pentingnya tolong-menolong.


5. Bagi orang yang berilmu hendaknya memilih tema yang tepat untuk waktu yang tepat pula, serta mengajak orang berbicara dengan gaya bahasa yang sesuai dengan keadaan mereka agar dapat menolong mereka mengerjakan kebaikan dan saling tolong-menolong dalam berbuat kebajikan.


6. Pengaruh iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari akhir dalam tindak tanduk seorang muslim dan kesegeraan untuk berbuat kebaikan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kepada kaum muslimin dengan ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut masalah tersebut. Oleh karena itu, sebaik-baik ungkapan yang disampaikan oleh seorang khatib adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


7. Perintah untuk bershadaqah dan berinfak meski sedikit. Sebab, jumlah banyak itu juga berasal dari jumalah yang sedikit. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menganggap remeh suatu amalan sekecil apa pun.


8. Kesegeraan kaum muslimin untuk menyambut petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berlomba-lombanya mereka untuk mengerjakan kebaikan.


9. Perintah agar orang muslim menjadi suri tauladan dalam hal kebaikan dan kebajikan, serta menghindarkan diri agar tidak menjadi tauladan dalam keburukan dan kemungkaran.


10. Siapa pun yang berusaha menganjurkan kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya. Sedangkan orang yang menganjurkan keburukan, maka baginya dosa seperti yang diterima oleh pelakunya.


11. Di dalam hadits tersebut tidak ada hujjah bagi orang-orang yang menganggap baiknya bid'ah dan orang-orang yang mengatakan bahwa di dalam Islam dikenal istilah bid'ah hasanah. Perumpamaan orang yang memperhatikan hadits ini tanpa memahami moment keluarnya (asbabul wurud) hadits ini sebagaimana disebutkan di atas, seperti orang yang membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Celakalah orang-orang yang shalat," dan tidak menyempurnakan bacaannya itu sampai akhir ayat karena dengan perbuatannya, ia telah memutar balikkan realita dan neraca kebenaran. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak pernah mengancam orang-orang yang mengerjakan shalat. Bagaimana mungkin Dia melakukan hal tersebut, sedang Dia-lah yang memerintahkan untuk mendirikan shalat? Akan tetapi, Dia mengancam segolongan orang yang mengerjakan shalat, yang mempunyai sifat berikut ini, "Yaitu orang-orang yang lengah terhadap shalatnya, orang-orang yang berbuat riya' dan enggan menolong dengan barang yang berguna." Atau seperti orang yang membaca ayat, "Dan janganlah kamu mendekati shalat." Lalu dia tidak menyempurnakan ayat tersebut sehingga pengertiannya dapat diperoleh, yaitu frman-Nya, "Sedang kamu dalam keadaan mabuk."


Alur pembicaraan pada hadits di atas menolak penafsiran yang berkembang di kalangan para pelaku bid'ah, di mana mereka mengatakan; "Barang siapa mengadakan bid'ah, yaitu bahwa di dalam Islam dibolehkan mengadakan bid'ah hasanah." Kemudian ungkapan mereka tersebut mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:


"Setiap bid'ah itu sesat."


Hal itu menunjukkan bahwa penafsiran mereka itu RUSAK dan mengandung kesalahan yang nyata, sehingga layak untuk ditolak. Dan bahwasanya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seorang Anshar tersebut awalnya adalah bershadaqah pada saat terjadi peristiwa itu, sedang shadaqah itu sudah disyari'atkan sebelumnya melalui nash. Nah, apakah kalian melihat Sahabat yang diceritakan dalam hadits itu melakukan bid'ah hasanah?!

Dengan demikian, sunnah hasanah adalah menghidupkan sesuatu yang disyari'atkan dan tidak diamalkan di tengah-tengah umat manusia karena mereka mengabaikannya.

***

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman

(Dikutip dari kitab Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar